HALAMAN

Minggu, 26 November 2017

Cara Budidaya Padi Dengan Cara Sawah Apung


Padi apung atau sawah apung ialah sistem budidaya pertanian baru untuk jenis tanaman padi yaitu dengan menanam padi diatas permukaan air. Teknologi padi apung dilatar belakangi karena sering terjadinya banjir di desa Ciganjeng yang menyebabkan kerugian pada petani karena ratusan hektar sawah terendam banjir. Padi apung dikembangkan pertama kali oleh Taruna Tani Mekar Bayu yang bekerjasama dengan Ikatan Petani Pengedali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI ). Teknologi ini cukup sederhana, yaitu dengan menggunakan rakit yang dibuat dengan bambu atau paralon & diberikan sabut kelapa, jerami, dan tanah. Hal inilah yang membedakan padi apung dengan sistem penanaman konvensional pada umumnya. Metode padi apung ini sangat berguna jika diterapkan pada wilayah yang memiliki curah hujan tinggi atau daerah yang terkena banjir.

Dari hasil pengamatan masyarakat banjir yang sering terjadi di Desa Ciganjeng disebabkan oleh meluapnya sungai Citanduy, Ciseel, Cirapuan, serta banjir kiriman dari Ciamis & Tasik. Kondisi inilah yang membuat masyarakat berusaha mengembangkan metode padi apung untuk menjaga keberlangsungan fungsi daerah Ciganjeng sebagai salah satu daerah lumbung padi. Beberapa bulan lalu, padi apung membawa hasil yang mengembirakan. Warga berhasil menanam padi varietas IR 64 dengan pola tanam tunggal, dan menggunakan bahan-bahan organik sebagai pengganti dari pupuk anorganik. Hasil panen perdana menghasilkan 6,4 ton per hektar. Keunggulan lain dari padi apung ialah para petani dapat sekaligus memelihara ikan dengan jumlah yg relatif banyak dibandingkan dengan sawah konvensional.

Teknologi Model Bercocok Tanam Antibanjir
Teknologi model sawah apung dilatarbelakangi oleh kecenderungan terjadinya curah hujan yang tinggi pada tahun belakangan yang menyebabkan banjir yang dapat mengganggu proses panen para petani konvensional. Selain daripada itu, dampak banjir lainnya yang juga kerap menggenangi sawah & ladang hingga berbulan-bulan yang menghambat proses bercocok tanam para petani.

Sawah apung ini dikembangkan pertama kali oleh Taruna Tani Mekar Bayu yang bekerja sama dengan Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Penerapan teknologi ini terbilang cukup sederhana, yaitu hanya dengan menggunakan rakit yang diberi sabut kelapa, jerami, dan tentunya tanah. Hal inilah yang kemudian membedakan sawah apung dengan cara bercocok tanam konvensional yang dilakukan di atas tanah.

Pada proses pembuatan sawah apung, rakit berfungsi agar sawah menjadi terapung sehingga tak terpengaruh oleh ketinggian air. Seperti yang kita ketahui sehari-hari, rakit merupakan susunan benda yang disusun mendatar yang dapat mengapung. Rakit merupakan rancangan perahu yang paling dasar & tak memiliki lambung. Supaya bisa selalu terapung, rakit dibuat dengan menggunakan gabungan bahan ringan seperti kayu, tong tertutup, drum, ponton, atau balok polistirena. Dengan menanam bibit padi di atas rakit tersebut, para petani dapat menanam dengan aman tanpa ada kekhawatiran akan terjadinya genangan air akibat curah hujan yang tinggi.

Penerapan Sawah Apung & Hasilnya
Metode model bercocok tanam yang baru dikembangkan ini akan sangat berguna jika diterapkan pada wilayah yang memiliki curah hujan yang tinggi. Contohnya di daerah Ciganjeng, kecamatan Padaherang, kabupaten Ciamis, di wilayah ini ratusan hektar sawah tergenang banjir hingga hampir satu tahun lamanya. Banjir ini merupakan salah satu banjir terburuk yang pernah dialami oleh warga sekitar. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini, para petani di daerah Ciganjeng tak dapat menikmati musim panen.

Dari hasil pengamatan masyarakat di wilayah sekitar, banjir yang menggenangi daerah lumbung padi Ciamis itu disebabkan karena meluapnya sungai Citanduy, Ciseel, Cirapuan, serta banjir kiriman dari kecamatan Mangunjaya. Hal ini menyebabkan areal persawahan di lima desa di kecamatan Ciganjeng yakni, Ciganjeng, Paledah, Maruyungsari, Kedungwuluh, dan Sukanagara selalu terendam banjir. Kondisi terpuruk inilah yang kemudian membuat masyarakat sekitar berusaha mengembangkan metode sawah apung untuk menjaga keberlangsungan fungsi daerah Ciganjeng sebagai salah satu daerah lumbung padi.

Beberapa waktu yang lalu, teknologi sawah apung yang dilakukan membawa hasil yang cukup menggembirakan. Warga berhasil menanam padi jenis IR 64 dengan pola tanam tunggal (System of Rice Intensification), atau menanam padi satu per satu, kemudian dipanen. Panen yang diharapkan pun terjadi, produksi sawah apung tak berbeda jauh dengan sawah konvensional. Hasil panen perdana (yang juga dalam tahap uji coba) berhasil memberi gabah 6,4 ton per hektar, tak berbeda jauh dengan hasil sawah konvensional yang dapat menghasilkan 7-8 ton per hektar. Keunggulan lain yang dapat dihasilkan sawah apung ialah para petani dapat sekaligus memelihara ikan dengan jumlah yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan sawah konvensional. Hasil ini membuktikan bahwa gagasan sawah apung ini merupakan salah satu metode yang patut dikembangkan di masa depan. (diambil dari beberapa sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar